Kalbar,PERSS.id—Jakarta,Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama mantan Presiden Soeharto dari Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Keputusan ini diambil dalam Sidang Paripurna MPR yang digelar pada Jumat, 27 September 2024, setelah melalui proses panjang dan perdebatan di antara anggota MPR serta berbagai pihak yang terlibat dalam proses hukum dan sejarah politik Indonesia.
Keputusan pencabutan nama Soeharto ini merupakan hasil dari kajian yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh Tim Kajian MPR, yang menyimpulkan bahwa penyebutan nama Soeharto dalam ketetapan tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum dan politik saat ini. “Pencabutan ini bukan untuk menghapus sejarah, tetapi untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari perdebatan panjang terkait Tap MPR tersebut,” ujar Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dalam pidatonya usai sidang.
Latar Belakang TAP MPR No. 11 Tahun 1998
TAP MPR No. 11 Tahun 1998 dibuat pasca-reformasi sebagai bentuk komitmen bangsa untuk memberantas KKN yang dinilai merajalela di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketetapan tersebut secara eksplisit menyebutkan nama Soeharto sebagai simbol pemerintahan yang dianggap mempraktikkan KKN dalam skala besar.
Namun, dalam dua dekade terakhir, sejumlah ahli hukum dan sejarawan berpendapat bahwa penyebutan nama Soeharto secara spesifik dalam TAP ini telah menjadi sumber perdebatan. Banyak yang menilai bahwa TAP tersebut mengesampingkan asas praduga tak bersalah, sementara keluarga Soeharto dan sebagian pendukungnya menganggap hal ini tidak adil.
Reaksi Publik dan Tokoh Nasional
Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No. 11/1998 ini menuai berbagai reaksi dari publik dan tokoh nasional. Sebagian besar masyarakat memandang ini sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri polemik yang berkepanjangan. "Pencabutan ini harus kita lihat sebagai bagian dari proses demokrasi yang terus berkembang. Ini bukan berarti kita melupakan sejarah, tapi kita harus fokus pada pembaruan hukum yang relevan dengan masa kini," kata Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara.
Di sisi lain, beberapa aktivis reformasi mengkritik keputusan ini, menganggapnya sebagai bentuk pelemahan terhadap semangat reformasi yang melahirkan TAP tersebut. “Ini bisa menjadi sinyal buruk dalam pemberantasan KKN, terutama jika kita bicara tentang simbolisme hukum yang terkandung dalam Tap MPR 11/1998. Nama Soeharto di sana adalah pengingat tentang pentingnya reformasi,” ujar aktivis Taufik Hidayat.
Implikasi Hukum
Dari sudut pandang hukum, pencabutan nama Soeharto dari TAP ini tidak akan berpengaruh pada proses hukum yang telah berlangsung atau yang mungkin dilakukan terhadap pelanggaran KKN di masa lalu. Ketua Komisi III DPR, Benny K. Harman, menegaskan bahwa pencabutan nama Soeharto ini hanya bersifat politis dan simbolis, tanpa mengubah komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi. “Indonesia tetap berkomitmen dalam melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pencabutan ini hanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak mengurangi semangat anti-KKN di negara kita,” jelas Benny.
Proses Selanjutnya
Setelah keputusan ini, MPR akan mengirimkan hasil sidang paripurna ke Presiden Joko Widodo untuk diumumkan secara resmi. Dalam waktu dekat, kemungkinan akan ada revisi terhadap Tap MPR No. 11 Tahun 1998 untuk mengakomodasi perubahan tersebut, tanpa menghilangkan esensi pemberantasan KKN yang terkandung dalam ketetapan itu.
Keputusan pencabutan ini juga membuka diskusi tentang bagaimana sejarah dan simbolisme hukum di Indonesia harus diperlakukan dalam era modern yang menuntut keadilan, keterbukaan, dan relevansi dengan keadaan saat ini.
(*Kzn*)
Editor:Maulana