“Tanah ini adalah warisan leluhur kami, sudah kami jaga turun-temurun. Kini kami diusir dari tanah kami sendiri tanpa ada musyawarah yang memadai,” tegas Mama Sinta dengan nada emosional saat ditemui oleh media di Merauke. Menurutnya, proyek food estate yang berfokus pada pengembangan pertanian skala besar tidak mengindahkan hak-hak masyarakat adat, terutama kaum perempuan yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi di Kampung Wanam.
Penggusuran ini dilakukan dengan dalih mendukung program ketahanan pangan nasional. Namun, bagi Mama Sinta dan masyarakat adat lainnya, proyek tersebut lebih mirip upaya perampasan lahan secara paksa. “Kami hanya ingin tanah kami tetap utuh. Kami tidak menolak pembangunan, tapi harus ada dialog dan keadilan. Tidak bisa dengan cara-cara seperti ini," tambahnya.
Proyek Kontroversial:
Proyek food estate di Merauke, yang didukung pemerintah pusat, telah menjadi sorotan nasional karena melibatkan ribuan hektar lahan ulayat. Banyak pemilik tanah adat yang merasa tidak diajak bicara dan tidak mendapat ganti rugi yang layak. Haji Isam, pengusaha besar yang menjadi salah satu aktor utama dalam proyek ini, disebut-sebut memiliki keterlibatan langsung dalam proses penggusuran tersebut.
Namun, pihak pemerintah dan Haji Isam berargumen bahwa proyek ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. “Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa proyek ini membawa manfaat bagi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat adat. Tidak ada niat untuk merugikan siapa pun,” kata seorang perwakilan dari pihak pengembang.
Tuntutan Masyarakat Adat:
Mama Sinta Moyuend dan masyarakat Kampung Wanam menuntut adanya penghentian sementara proyek food estate hingga tercapai kesepakatan yang adil antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat adat. Mereka juga mendesak agar hak-hak ulayat dihormati sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal keberlangsungan hidup kami sebagai masyarakat adat. Kami berjuang untuk masa depan anak cucu kami. Jika tanah kami hilang, maka hilang pula identitas kami,” ujar Mama Sinta, yang telah menjadi simbol perlawanan masyarakat adat di wilayah tersebut.
Sementara itu, LSM lokal dan nasional mulai memberikan perhatian lebih terhadap kasus ini, dan berencana untuk membawa persoalan ini ke jalur hukum jika pihak pengembang terus melanjutkan proyek tanpa adanya kompromi.
Dukungan dari Berbagai Pihak:
Sejumlah tokoh adat dan organisasi masyarakat sipil telah menyatakan dukungannya kepada Mama Sinta dan masyarakat Kampung Wanam. “Kami bersama mereka, dan kami akan terus berjuang sampai hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati sepenuhnya,” kata seorang perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Di sisi lain, pemerintah daerah dan pusat didesak untuk lebih bijak dalam menangani konflik agraria di Papua, termasuk di Merauke, agar tidak memicu ketegangan sosial yang lebih luas. Penanganan yang lebih manusiawi dan adil menjadi tuntutan utama bagi pihak yang terlibat.
Konflik ini semakin menambah panjang daftar kasus penggusuran lahan ulayat di berbagai wilayah di Indonesia yang sering kali memicu perlawanan dari masyarakat adat. Akankah ada solusi yang adil bagi Mama Sinta Moyuend dan masyarakat adat Kampung Wanam? Ataukah penggusuran ini akan terus berlanjut, mengabaikan suara-suara yang memperjuangkan keadilan? Waktu yang akan menjawabnya.
(*Kzn*)